Definition List

Header Ads

PAHLAWAN PUBLIK

Pahlawan, sebuah kata yang tidak asing dalam pendengaran masyarakat Indonesia. Ia selalu terdengar berkumandang menjelang dan selama bulan Nopember. Banyak seminar atau diskusi maupun sejenisnya yang dilaksanakan oleh berbagai kalangan untuk mengusung atau paling tidak membicarakan nilai-nilai kepahlawanan. Ini menu tahunan. Entah mulai kapan, tradisi ini muncul dan diputar terus-menerus setiap tahun. Dan itu jamak di hampir seluruh daerah, apalagi di daerah yang belum memiliki seorang pahlawan nasional, seperti Sulawesi Tengah.

Walaupun telah berkali-kali diskusi, seminar dan sejenisnya, bahkan ratusan tokoh telah diangkat menjadi pahlawan, namun konsepsinya belum beranjak dari defenisi bahwa pahlawan merupakan seorang tokoh yang membangggakan. Kamus Besar Bahasa Indonesia menagaskan bahwa pahlawan adalah “orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran; pejuang yang gagah berani; hero” (Tim Penulis, 2003:811-812). Dengan demikian, dasar berpikir tentang pahlawan belum beranjak dari perspektif lama, yang mana, pahlawan disejajarkan dengan pejuang. Kata pejuang terkait erat dengan perang atau peperangan. Apapun bentuknya, perang atau peperangan adalah praktik nyata sebuah kekerasan.

Bila pahlawan masih dinarasikan sama dengan pejuang, maka yang hadir kemudian yaitu pahlawan merupakan kebanggaan. Ia akan menjadi manusia super, manusia tanpa cela, apalagi cacat. Bila demikian, kita telah menolak kodrat sebagai manusia manusia bahagia, makhluk yang tidak pernah luput dari salah dan khilaf. Hal lain yang akan hadir jika pahlawan sama dengan pejuang adalah kesan gagah atau kesan maskulin. Maka sejarah pahlawan kita akan terasa diskriminatif, paling tidak kepada perempuan dan orang biasa. Jika ditelusuri satu persatu, ada beberapa pahlawan perempuan yang tidak mengangkat senjata. Tetapi dalam narasi sejarah Indonesia, mereka adalah pejuang yang melawan Belanda. Sependek pengetahuan saya, pahlawan dari kalangan orang biasa sulit ditemukan di Indonesia. Apalagi jika terminologinya adalah perempuan dari kalangan orang biasa, makin sulit lagi. Pasti ada, namun narasi historiografi nasional kita, belum meng-cover-nya selama ini.

Hal ini rasanya masih sulit untuk dilakukan. Pasalnya dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun  2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, Dan Tanda Kehormatan, masih sangat maskulin dan bahkan militeristik, bahkan terkesan elitis. Baca saja pada Bab V Tata Cara Pengajuan Gelar, Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan, khususnya pada bagian pertama yang berbicara mengenai syarat-syarat memperoleh gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan. Ada empat pasal, yakni pasal 24-29, yang membicarakan hal tersebut. Ini menjadi tampak bahwa pahlawan itu seperti bukan manusia biasa.

Menulis cerita kepahlawanan seseorang, itu sama dengan menulis kisah hidupnya. Sementara menulis kisah hidup seseorang, itu sama dengan menulis biografi. Kuntowijoyo dalam buku Metodologi Sejarah (2003) berpendapat bahwa “Biografi adalah sejarah, sama halnya dengan sejarah kota, negara, dan bangsa.” Jika biografi ditulis dengan kaidah sejarah yang menyatakan bahwa sejarah itu ditulis apa adanya, tidak boleh ditambah atau pun dikurangi. Kredo inilah yang menjaga sejarah sebagai ilmu agar tetap aman dari persoalan politis. Pengangkatan seorang pahlawan itu merupakan kepentingan politik negara dan bangsa, bukan kepentingan sejarah. Oleh karena itu, tugas seorang sejarawan adalah menulis sejarah sesuai sumber yang ditemukannya. Toh, apabila hasil tulisannya dijadikan dasar untuk pengusulan dan pengangkatan seorang pahlawan, maka itulah guna sejarah yang sesungguhnya, sebagaimana yang disampaikan Kuntowijoyo dalam buku Pengantar Ilmu Sejarah (2013).

Pemberian gelar pahlawan adalah kepentingan politik negara, belum menjadi milik publik. Oleh karena itu, setelah gelar tersebut disematkan pada seseorang, maka hanya sampai di situ saja. Menurut Profesor Bambang Purwanto dalam Webinar yang dilaksanakan oleh Balai Pelestarian Nilai Budaya Aceh dengan tajuk Bincang Sejarah Aceh: “Pahlawan” Yang Belum Pahlawan pada tanggal 6 November 2020 bahwa tidak ada tindak lanjut yang membuat sang tokoh dikenal secara luas oleh masyarakatnya. Hal itu terjadi karena pahlawan yang telah diangkat itu bukan milik publik (masyarakat), melainkan milik Jakarta. Maka yang paling penting adalah pemahaman kita mengenai pahlawan harus didekonstruksi secara penuh. Sebab pahlawan masih dilihat sebagai sebuah kebanggan. Padahal yang seharusnya, pahlawan itu bukan lagi seorang yang membanggakan, melainkan ia adalah seorang panutan, pahlawan yang inspiratif (atau menginspirasi), dan seorang yang mampu menghadirkan rekonsiliasi. Ini dimaksudkan agar kiranya pahlawan itu bukan sesuatu yang hanya berada dalam ruang formal, dimana pengakuan (sebagai pahlawan) itu hanya bersifat yuridis. Bila pemahaman masih seperti selama ini, maka si pahlawan tersebut menjadi ekslusif, bukan milik publik, tetapi ia milik negara dalam artian yang politis. Karena tujuan negara mengangkat seorang pahlawan adalah tujuan politis semata, politik historiografi nasional. Salah satunya adalah penggunaan konsep pemerataan. Suatu daerah akan selalu mendapat jatah jumlah pahlawan asal daerah tersebut.

Pahlawan publik sangat dibutuhkan di Indonesia masa kini. Sebab, pahlawan nasional dalam perspektif negara (Jakarta) itu biasanya berakhir pada sepotong surat penghargaan, sedangkan nilai-nilai kepahlwanannya hilang tak berbekas. Namanya begitu diagung-agungkan, tapi apa yang pernah dilakukannnya – dalam arti sosial dan budaya – hilang ditelan waktu. Hanya nama dan kebanggaan terhadapnya yang tersisa. Hanya itu saja.

Jika hendak menghadirkan seorang pahlawan publik, maka dibutuhkan sinegritas berbagai antara masyarakat, sejarawan, perguruan tinggi, dan pemerintah daerah. Bukan dalam urusan pengusulannya yang pokok, melainkan pada soal kajian terhadap sang tokoh perlu dilakukan dalam bingkai ilmu pengetahuan, khususnya sejarah. Kajian atasnya itu, tidak hanya terbatas pada soal biografi dan perjuangannya melawan penjajah – sebagaimana kebiasaan selama ini – saja. Dan yang tidak kalah penting adalah nilai-nilai ketokohan apa saja yang dapat diteladani, dijadikan panutan, dan inspirasi. Bahkan lebih jauh lagi, dapat menciptakan dunia yang damai, dunia tanpa perang.

Masyarakat lokal, tempat sang pahlawan hidup, perlu tahu secara mendalam tentangnya. Untuk itu, kita – khususnya para sejarawan – perlu mendekontruksi pemahaman mengenai pahlawan itu sendiri. Pahlawan itu memang ciptaan, maka marilah kita menciptakan pahlawan yang berbiaya murah, yaitu pahlawan publik.***

Penulis: Wilman D Lumangino

Artikel ini telah terbit di Buletin Syajaratun edisi November 2020


Posting Komentar

0 Komentar