Definition List

Header Ads

Motaro: Penyembuhan Lokal Ala Orang Da’a

 


“mens sana in corpore sano”

Kita seringkali mendengar pepatah lama tersebut, dalam berbagai kegiatan kesehatan ataupun kegiatan olahraga. Atau juga sering membaca istilah bahasa latin tersebut, pada buku-buku pelajaran. Ya, istilah tersebut memiliki makna, dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat. Tentunya, kita semua menginginkan tubuh yang sehat, bugar sehingga mampu melaksanakan rutinitas kita sehingga jiwa kita merasa puas akan aktivitas tersebut.

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam beberapa waktu ini semakin tumbuh secara pesat, sebagaimana juga perkembangan tersebut turut dirasakan oleh dunia medis. Beberapa alat medis yang ada di instansi kesehatan, seperti rumah sakit, puskesmas hingga posyandu, sudah dilengkapi oleh peralatan yang terbarukan. Sebut saja alat rekam jantung yang semakin modern, pendeteksi suhu badan yang semakin praktis, hingga alat rapid test untuk mengecek tingkat reaktif tubuh terhadap virus.

Perkembangan teknologi di dunia medis, dapat dikatakan bagai pisau bermata dua. Di satu sisi dunia kesehatan semakin dimudahkan, sementara di sisi yang lain berdampak pada pudarnya pengobatan tradisional. Pengobatan tradisional yang dimaksud adalah pengobatan ala orang tua terdahulu, yang dilakukan secara lokal dengan media pengobatan yang sangat sederhana. Tulisan ini bertujuan untuk mengenalkan secara umum pengobatan lokal khususnya pengobatan sub etnis Kaili Da’a di wilayah Marawola Barat, Kabupaten Sigi.

Konsep Pengobatan Tradisional

Sebelum tulisan ini membahas poin penting dalam pengobatan tradisional, tidaklah elok dirasa ketika kita tidak menyinggung konsepnya. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1076/MENKES/SK/VII/2003 tentang Penyelenggaraan Pengobatan Tradisional, pengobatan tradisional adalah pengobatan dan atau perawatan dengan cara obat dan pengobatannya, mengacu kepada pengalaman, ketrampilan turun temurun dan atau pendidikan/pelatihan dan diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat. Sementara itu WHO mendefinisikan pengobatan tradisional sebagai jumlah total pengetahuan, keterampilan dan praktik-praktik yang berdasarkan pada teori, keyakinan dan pengalaman masyarakat berdasarkan adat dan budaya yang berbeda, baik dijelaskan atau tidak, digunakan dalam pemeliharaan kesehatan serta dalam pencegahan, diagnosa, perbaikan atau pengobatan penyakit secara fisik maupun mental. Dengan demikian, maka pengobata tradisional dikerucutkan menjadi pengobatan berdasarkan pengetahuan setempat masyarakatnya yang diajarkan secara turun temurun dengan media yang sederhana.

Motaro, Penyembuhan Lokal Ala Orang Da’a

Media penyembuhan tradisional acapkali menjadi alternatif masyarakat, ketika mengalami gangguan fisik ataupun mental, meskipun penyembuhan tradisional sering dilabel kurang keren, oleh beberapa kalangan. Orang Kaili Da’a di Kecamatan Marawola Barat, Kabupaten Sigi, yang mendiami area pegunungan Kamalisi (Gawalise), mengenal istilah Motaro sebagai media penyembuhan lokal. Menurut penuturan ketua adat Da’a, Andi Lasipi, kegiatan Motaro dilakukan sebagai media penyembuhan, memohon kekuatan dan keselamatan kepada Tuhan, melalui leluhur sebagai perantara atau penyampai pesan kepada sang pencipta.

Olehnya itu kegiatan ini dilakukan secara adat dan juga secara agama, tidak berketimpangan. Bila ditelisik, ritual Motaro tidak berbeda dengan ritual penyembuhan masyarakat sub etnis Kaili yang lainnya, seperti Ledo, Uma, Tara, Rai, Ija, Ado, Tado dan lainnya. Ritual Balia misalnya, diyakini sebagai media penyembuhan yang sakit (fisik ataupun mental), dengan menggunakan media perahu dan penyakitnya diseberangkan ke laut, sebagai simbol penyakitnya dikembalikan kepada sang pemilik hidup.

Orang Kaili percaya bahwa laut sebagai simbol muara segala kehidupan, bak sungai-sungai bercabang yang mengalir dan bermuara di samudera, yang merupakan representasi dari makna Balia itu sendiri. Makna balia disebut juga dengan ‘mengembalikan/dikembalikan’ yang berarti semua macam penyakit dikembalikan kepada sang pencipta.

Lebih lanjut untuk ritual Motaro sendiri, medianya bukan perahu seperti Balia, namun medianya adalah ayunan, yang diiringi dengan doa-doa dalam bahasa Da’a oleh ketua adat/kepala adat, dilengkapi kain tiga warna, yakni merah (talavarane), putih (viata) dan kuning (anitu). Adat tersebut menggunakan adat 3, berbeda halnya dengan adat 5, 7 ataupun 9, yang jumlahnya disesuaikan dengan jenis adatnya.

Pada ritual Motaro, orang yang sakit akan diposisikan dekat dengan ayunan yang terbuat dari rotan dan diikat dengan tali hutan/tali rotan. Di atas ayunan tersebut berisi kain adat 3 (dapat juga adat 5,7,9) tergantung kemampuan, yang dilengkapi dengan sambulu, yang terdiri dari daun sirih, gambir, tembakau, pinang, kapur sirih, yang jumlahnya disesuaikan dengan jumlah adat yang digunakan. Kepala adat akan memandu ritual Motaro, yang diikuti oleh keluarga dari pihak yang sakit. Orang yang sakit akan dipandu untuk mengayunkan ayunan selama doa diucapkan oleh kepala adat. Mereka meyakini, dengan mengayunkan ayunan, maka penyakit akan sirna dan kembali ke tempat asalnya.

Secara konsep, ritual Balia dan ritual Motaro tidak ada perbedaan sama sekali, hanya yang membedakan adalah medianya. Perbedaan penggunaan media penyembuhan dipengaruhi oleh karakteristik ruang. Orang Kaili Ledo atau Rai misalnya, adalah sub etnis Kaili yang dominan mendiami wilayah lembah hingga pesisir, sehingga sebagian besar masyarakatnya adalah nelayan. Masyarakat pesisir tentunya lekat dengan perahu, selain sebagai wahana transportasi yang mendukung pekerjaan mereka, dan rupanya perahu menjadi simbol pengobatan dalam ritual Balia.

Sementara itu masyarakat sub etnis Da’a dominan mendiami wilayah pegunungan/dataran tinggi sehingga sebagian besar masyarakatnya sebagai petani, peladang ataupun pekebun. Tentunya mereka tidak lepas dari namanya rotan, akar hutan dan berbagai tumbuhan yang hidup di Hutan. Hal ini juga dijadikannya secara simbolis untuk media penyembuhan pada ritual motaro.

Merujuk hal ini, maka benarlah yang pernah diungkapkan oleh Clyde Kluckhon yang mengemukakan, manusia adalah mahkluk yang menggemari simbol-simbol, di mana simbol-simbol itu digunakan sebagai media komunikasi karena keterbatasan manusia dalam menggambarkan sesuatu.

Motaro, Nasibmu Kini

Seiring dengan berjalannya waktu, ritual penyembuhan tradisional ini semakin lama semakin jarang dilakukan oleh masyarakat Da’a sendiri, khususnya untuk masyarakat Da’a yang sudah tersentuh oleh pendidikan. Ritual penyembuhan ini memang membutuhkan persiapan yang matang, selain dibutuhkan keyakinan akan sembuh dari penyakit, juga dibutuhkan kesabaran dan keteguhan dalam pengobatannya. Ditambah pula, penanaman nilai-nilai adat mulai berkurang dilakukan oleh lembaga-lembaga adat, sehingga pewarisannya tidak dapat diturunkan kepada generasi baru dan generasi muda.

Orang Da’a kini lebih memilih berobat di puskesmas ataupun rumah sakit, dengan pertimbangan bahwa obat yang mereka peroleh, adalah obat yang paten dan pasti sembuh dengan waktu yang relatif cepat. Memang tidak ada yang salah dalam hal itu, namun pelestarian nilai-nilai tersebut yang harus senantiasa diwariskan secara turun temurun, agar identitasnya tetap ajeg sebagaimana mestinya.

Penutup

Kemajuan teknologi dan perkembangan ilmu pengetahuan merupakan hal yang tak bisa ditolak, karena pada dasarnya kita senantiasa bergerak kearah depan. Namun demikian, nilai-nilai adat tidak bisa juga kita kesampingkan karena nilai tersebutlah yang menjadi identitas asli masyarakat itu sendiri sehingga eksistensinya tetap terjaga. So, meskipun kita sudah di zaman modern, jangan lupa darimana kita berasal ya.

Oleh: I Putu Raditya Eka Permana (Guru Geografi di SMAN 2 Palu)

Tulisan ini terbit di Buletin Syajaratun edisi Juni 2020.

Posting Komentar

0 Komentar